Kitab
“Marâh Labîd” atau “al-Tafsîr al-Munîr” terhitung sebagai kitab tafsir yang
sangat istimewa, karena karya ini adalah karya tafsir Al-Qur’an yang pertama
yang ditulis dalam bahasa Arab secara lengkap oleh seorang ulama asal
Nusantara. Selain itu, karya ini juga tercatat sebagai salah satu karya tafsir
yang ditulis pada abad ke-19 M di dunia Islam (selain Tafsîr al-Manâr karangan
Muhammad Abduh dari Mesir, w. 1323 H/ 1905 M).
“Marâh
Labîd li Kasyf Ma’na al-Qur’ân al-Majîd” adalah karya tulis seorang ulama besar
dunia Islam di abad ke-19 M asal Nusantara, yaitu Syaikh Abû ‘Abd al-Mu’thî
Muhammad Nawawî ibn ‘Umar al-Bantaî al-Jâwî tsumma al-Makkî (dikenal dengan
Syaikh Nawawi Banten, w. 1316 H/ 1897 M).
Dalam
kolofon, didapati informasi jika karya ini selesai ditulis di Makkah pada malam
Rabu, 5 Rabiul Akhir tahun 1305 Hijri (bertepatan dengan 20 Desember 1887
Masehi). Syaikh Nawawi menulis di halaman terakhir karyanya ini;
وقد انتهى ما منّ الله به علينا من المعاني الميسّرة والألفاظ
المسهّلة في خامس ربيع الآخر ليلة الأربعاء عام سنة 1305 ألف وثلاثمائة وخمسة على يد
الفقير إلى الله تعالى محمد نووي غفر الله له ولوالديه، ولمشايخه، ولإخوانه المسلمين،
وصلى الله عليه وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
(Dan
aku telah menyelesaikan karya ini …. pada tanggal lima bulan Rabiul Akhir,
malam Rabu, tahun 1305, Seribu Tiga Ratus Lima [Hijri] oleh seorang yang fakir
kepada Allah, yaitu Muhammad Nawawi, semoga Allah memberikan pengampunan
kepadanya dan kedua orang tuanya juga pada guru-gurunya ….).
Karya
ini kemudian dicetak untuk pertamakalinya oleh al-Mathba’ah al-‘Utsmâniyyah
(al-Amîriyyah) di Kairo beberapa bulan kemudian (1305 Hijri/ 1888 Masehi), dan
mengalami cetak ulang berkali-kali hingga saat ini oleh pelbagai penerbit
lainnya, baik di Timur Tengah ataupun di Nusantara.
Dalam
kata pengantarnya, Syaikh Nawawi Banten mengatakan bahwa dirinya menulis kitab
tafsir ini dikarenakan adanya dorongan dari salah seorang gurunya. Pada
awalnya, beliau merasa segan untuk menuliskan sebuah karya tafsir, karena
bidang ilmu ini terhitung berat. Namun kemudian, demi misi lestarinya sebuah
tradisi penulisan ilmu pengetahuan, maka beliau pun mulai menuliskan karya
tafsir ini. Syaikh Nawawi Banten menulis;
أما بعد، فيقول أحقر الورى محمد نووي: قد أمرني بعض الأعزة
عندي أن أكتب تفسيرا للقرآن المجيد فترددت في ذلك زمانا طويلا خوفا من الدخول في قوله
صلّى الله عليه وسلّم: «من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ. وفي قوله صلّى الله
عليه وسلّم: «من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار. فأجبتهم إلى ذلك للاقتداء
بالسلف في تدوين العلم إبقاء على الخلق وليس على فعلي مزيد ولكن لكل زمان تجديد، وليكون
ذلك عونا لي وللقاصرين مثلي
(Ammâ
ba’du. Maka berkatalah hamba yang paling hina, Muhammad Nawawi namanya. Bahwa
telah memerintahkan kepadaku sebahagian guru yang aku muliakan, agar aku
menulis sebuah tafsir al-Qur’an. Aku mengurungkan untuk tidak memenuhi perintah
itu selama bertahun-tahun lamanya, karena takut akan hadits Nabi yang
mengatakan bahwa “barangsiapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya,
dan itu adalah benar, maka sejatinya ia telah melakukan kekeliruan”. Juga takut
akan hadits Nabi lainnya, yang mengatakan bahwa “barangsiapa yang menafsirkan
al-Qur’an dengan pendapat (hawa nafsu)nya, maka hendaklah ia menyediakan tempat
di neraka”. [Namun setelah itu,] aku pun menyanggupi permintaan tersebut,
karena hendak mengikuti para generasi terdahulu yang salih dalam upaya melestarikan
tradisi penulisan ilmu pengetahuan, agar ia tetap berkembang di antara manusia.
Tidak ada sesuatu yang baru yang aku lakukan, namun setiap zaman mestilah
terdapat pembaharuan. Dan hendaklah karya ini menjadi penolong bagiku, juga
bagi orang-orang yangbodoh semisalku [guna memahami kandungan al-Qur’an]).
Dalam
menulis karya ini, Syaikh Nawawi Banten pun merujuk kepada beberapa kitab
tafsir, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kata pengantarnya. Beberapa
rujukan tersebut adalah; (1) al-Futûhât al-Ilâhiyyah” atau yang dikenal dengan
“Hâsyiah al-Jamal” karya Syaikh Sulaimân ibn ‘Umar al-Jamal (w. 1204 H/ 1789
M), (2) “Mafâtih al-Ghaib” atau yang dikenal dengan “al-Tafsîr al-Râzî”
karangan Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606 H/ 1209 M), (3) “al-Sirâj al-Munîr”
karangan Syaikh Syams al-Dîn Muhammad al-Syarbînî (w. 977 H/ 1569 M), dan (4)
“Tafsîr Abî Sa’ûd” atau “Irsyâd al-‘Aql al-Salîm” karya Abû Sa’ûd al-‘Imâdî (w.
982 H/ 1574 M).
Syaikh
Nawawi Banten menulis;
وأخذته من الفتوحات الإلهية ومن مفاتيح الغيب ومن السراج
المنير، ومن تنوير المقباس، ومن تفسير أبي السعود. وسميته مع الموافقة لتاريخه «مراح
لبيد لكشف معنى قرآن مجيد» ، وعلى الكريم الفتّاح اعتمادي، وإليه تفويضي واستنادي
(Aku
telah merujuk pada kitab-kitab tafsir seperti “al-Futûhât al-Ilâhiyyah”, “Mafâtih
al-Ghaib”, “al-Sirâj al-Munîr”, “Tanwîr al-Miqbâs”, dan “Tafsîr Abû Su’ûd”. Aku
menamai karyaku ini dengan nama yang sesuai dengan masanya,yaitu “Marâh Labîd
li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd”. Kepada Allah yang Karim dan Fattah lah aku
bersandar, kepadaNyalah aku menyerahkan segala urusan).
Dalam
menulis karya tafsir ini, Syaikh Nawawi Banten cenderung menggunakan metode
“tahlîlî” (analitik), yaitu mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an berdasarkan
sistematika urutan ayat dan surat. Syaikh Nawawi Banten juga menuliskan asbâb
al-nuzûl, yaitu konteks dan kausa sebuah ayat diturunkan, menguraikan varian
bacaan al-Qur’an (qirâ’ât) dan implikasi hukum yang ditimbulkan olehnya.
Pada
konteks sejarah penulisan karya tafsir al-Qur’an ke-Islam Nusantaraa-an, karya
ini sezaman (meski lebih senior) dengan karya-karya tafsir al-Qur’an yang
ditulis oleh ulama Nusantara dengan menggunakan bahasa lokal, seperti tafsir
“Nûr al-Ihsân” dalam bahasa Melayu karangan Syaikh Muhammad Sa’id Kedah, tafsir
“Faidh al-Rahmân” berbahasa Jawa karangan Syaikh Soleh Darat, dan “Tafsir
al-Qur’an” berbahasa Sunda karangan Haji Hasan Mustapa Garut.
Di nukil dari https://nujabar.or.id/marah-labid-tafsir-al-quran-terlengkap-karya-syaikh-nawawi-al-bantani/
Di nukil dari https://nujabar.or.id/marah-labid-tafsir-al-quran-terlengkap-karya-syaikh-nawawi-al-bantani/
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete