Al-Qur’an
dengan isinya yang simpel dan kandungan makna yang sangat luas memerlukan
penafsiran untuk memahami kandungannya, oleh karenanya pasca Rasul wafat muncul
beberapa penafsiran dari para sahabat dan generasi sesudahnya. Model penafsiran
seorang mufassir lazimnya dilatarbelakangi keilmuan yang dikuasainya, walaupun
ada sebagian mufassir yang menulis tafsir dari latar belakang yang berbeda dari
basic keilmuan yang dimilikinya. Disini penulis akan sedikit membahas
kitab tafsir sebagai salah satu sarana untuk memahami isi kandungan al-Quran.
Kitab tafsir yang akan kami bahas tersebut adalah “ Tafsir al-Wadhih” karya Dr. Mahmud Hijazi.
Biografi Penulis
Dr.
Mahmud Hijazi dilahirkan pada tahun 1914 di wilayah bagian timur mesir. Pada
masa mudanya ia menempuh study di Lembaga Zaqaziq, ia adalah seorang murid yang
teladan sehingga disegani oleh teman-temannya. Setelah menyelesaikan studinya
di Zaqaziq ia melanjutkan studinya ke Kairo di Fakultas Bahasa Arab dan
mendapat gelar keserjanaan dengan cepat karena ia termasuk mahasiswa yang
pintar. Kemudian ia ditetapkan menjadi dosen di lembaga Zaqaziq yang merupakan
almamaternya.
Beberapa
tahun kemudian dia diangkat menjadi guru besar dan banyak membantu lembaga
tersebut dengan ilmunya. Di sana ia selalu mengadakan diskusi intensif dengan
para mahasiswa yang berasal dari daerahnya. Mahmud Hijazi berhasil
menyelesaikan gelar doktornya di lembaga Zaqaziq dengan disertasi yang berjudul
“al-Wihdah al-Maudhuiyyah li al-Quran al-Karim” (kesatuan tema dalam al-Quran)
karena ia memfokuskan studinya dibidang tafsir.
Latar
Belakang Penulisan Kitab
Dalam
pendahuluan buku tafsir ini beliau menuliskan kenapa beliau berkeinginan untuk
menulis buku tafsir yang diberi judul dengan “Al-Tafsir al-Wadhih”, beliau
mengatakan karena di dalam al-Qur’an terdapat banyak makna-makana dan
rahasia-rahasia al-Qur’an yang belum terkuak dan sudah dijelaskan tetapi secara
global saja.
Pada
dasa warsa sekarang ini telah banyak kegiatan belajar-mengajar, maka dari itu
muncullah pembelajaran yang berpokok pada dua permasalahan yaitu: Pertama,
banyaknya penilitian dari kalangan peneliti tentang hubungan manusia dengan
lainnya, sehingga terjadilah perbedaan-perbedaan pemahaman tehadap hukum atau
peraturan-peraturan yang telah dibuat, begitu pula masih terlihat dan terdengar
mereka terus memperbaharui bahkan mengganti peraturan-peraturan yang ada,
setelah tahun berganti dengan tahun berikutnya mereka mengulangi pekerjaan
sebelumnya dengan mengganti dan memperbaharuinya. Kedua adalah
bahwa banyak dari orang-orang kembali berwajah kepada al-Qur’an, seakan-akan
mereka telah bosan terhadap realita yang ada, yang mana mereka berkesimpulan
bahwa hukum yang dibuat belum berhasil dalam penanggulangan
permasalahan-permasalahan kriminal dan belum bisa memberikan hak-hak mereka,
tetapi justru sebaliknya membuat kehidupan mereka sangat buruk dan
menprihatinkan, lalu mereka berwajah kembali kepada al-Qur’an dengan berkeyakinan
al-Qur’an adalah sebagai jalan keluar atas segala permasalahan yang ada, yang
bisa membawa mereka ke kehidupan yang bahagia dan lebih baik. Maka dari
itu, Dr. Muhammad Mahmud Hijazi berhasrat untuk membantu mereka dengan menulis
kitab “Al-Tafsir al-Wadhih” yang
bertujuan bisa menjadi alat dalam mewujudkan kehidupan yang berlandaskan
terhadap al-Qur’an.
Sistematika
Penulisan Kitab
Al-Tafsir
al-Wadhih karya Dr. Muhammad Mahmud Hijazi juga tidak terlepas dari
tafsir-tafsir terdahulu seperti yang dikatakan beliau “tafsir ini tidak terlepas jauh dari tafsir sebelumnya, seperti al-Fajr,
asy-Syihab, al-Ulusi, ath-Thabari dan al-Qurthubi”. Mahmud Hijazi
menafsirkan seluruh ayat al-Quran dengan berurutan ayat demi ayat, surat demi
surat sesuai dengan urutan Mushaf Utsmani.
Kitab
tafsir ini terdiri dari 10 juz, setiap mengawali penafsirannya Mahmud Hijazi
menulis nama surat dalam al-Quran, menerangkan Makiyah dan Madaniyah serta
menerangkan secara global kandungan surat. Contoh surat al-Anfal termasuk dalam
kelompok surat Madaniyah, surat tersebut menceritakan tentang harta rampasan
perang, kemudian mengelompokan ayat secara berurutan yang dipandang berhubungan
satu sama lain dalam tema-tema kecil. Secara deskriptif dan
langkah-langkah yang digunakannya adalah sebagai berikut:
- Menjelaskan arti dari nama surat dan konten dan pokok-pokok apa saja yang ada di dalamnya. Contoh: Surat al-Ikhlash dinamakan Surat al-Ikhlash karena termasuk surat tauhid dan pensucian nama Allah Ta’ala. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar utama Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat ini disejajarkan dengan sepertiga Al-Qur’an. Karena ada tiga prinsip umum: tauhid, penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari kiamat. Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk membacanya dengan tadabbur dan pemahaman, sampai pahalanya disamakan dengan orang membaca sepertiga Al-Qur’an.
- Penjelasan kosa kata (Syarhu al-Mufradat) yang terdapat dalam ayat yang dirasa sulit menurut ukurannya. Dengan demikian tidak dijelaskan seluruh kosakata yang ada tetapi sebagiannya saja yang dianggap sulit. Contoh kata Ahad pada Surat al-Ikhlash diartikan sebagai: satu dalam DzatNya, SifatNya dan Af’alNya.
- Penjelasan (al-Idhah), pada langkah ini, beliau memberikan penjelasan yang luas dengan dibarengi asbab an-Nuzul jika ada. Terkadang beliau menjelaskan tafsir ayat dengan ayat lain dan bahkan penjelasan para ulama terdahulu yang dianggapnya baik atau shahih. Contoh pada surat al-Baqarah ayat 26-27 setelah memberikan penjelasan yang panjang lebar beliau menyebutkan sebab turunnya ayat tersebut yaitu dengan menyebut riwayat, dengan kata Ruwiya: yaitu ayat tersebut turun karena orang kafir menertawakan pemisalan dalam al-Qur’an yang berupa laba-laba. Beliau juga menjelaskan ayat satu dengan ayat lain seperti surat al-Ra’du ayat 35, beliau menjelaskan dengan surat Muhammad ayat 15.
- Pada langkah terakhir biasanya beliau memberikan penjelasan pada surat yang dianggap penting atau yang bersangkutan dengan ilmu tafsir seperti apa macam surat ini Makkiyah atau madaniyyah. Contoh seperti surat al-Ikhlash di atas disebutkan bahwa syrat tersebut termasuk surat Makkiyah.
Sumber,
Metode, dan Corak Penafsiran
a.
Sumber Penafsiran
Secara
definitif yang dimaksud dengan sumber tafsir adalah rujukan yang digunakan
mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Secara rinci sumber penafsiran
tafsir al-Wadhih berasal dari dua sumber. Pertama, sumber Ma’tsur (naql),
kedua, sumber Ra’yu (aql). Dari kedua sumber tersebut diuraikan lagi menjadi
empat sumber secara parsial yaitu:
1)
Al-Quran
Al-Quran
merupakan sumber utama yang digunakan Mahmud Hijazi dalam tafsirnya, cotohnya
dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 34:
“
Dan (Ingatlah) ketika kami
berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir ”.
Mahmud
Hijazi menafsirkan ayat ini dengan ayat 50 pada surat al-Kahfi, lafazh iblis
dalam ayat ini diartikan sebagai salah satu golongan jin, dapat juga disebut
bapaknya jin.
“ Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada
para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam, Maka sujudlah mereka kecuali
iblis. dia adalah dari golongan jin, Maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. patutkah
kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku,
sedang mereka adalah musuhmu? amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari
Allah) bagi orang-orang yang zalim ”.
Contoh
lain seperti dalam menjelaskan sifat-sifat surga yang dijanjikan Allah
pada surat ar-Ra'du ayat 35 beliau menjelaskan dengan surat Muhammad ayat 15.
Kalau
kita melihat lebih dalam dan kritis tentang metode yang digunakannya, beliau
banyak menggunakan ilmu-ilmu yang ada pada sekarang, seperti psikologi,
sosiologi, antropologi, historis, ekonomi budaya dan segala yang dapat membantu
beliau dalam penafsirannya yang bisa diterima akal. Sebagimana beliau menyatakan
bahwa surga yang dijanjikan Allah itu tidaklah seperti yang termaktub pada teks
al-Qur'an, karena seandainya surga seperti itu maka kitapun pernah merasakan
keenakannya didunia ini walaupun diakhirat lebih enak. Jika ditinjau dengan
pendekatan psikologi , budaya dan histories lahirnya ayat itu, maka pendapat
beliau bisa diterima, beliau menyatakan ayat ini lahir atau turun di Arab, yang
mana di dataran tanah Arab itu sangatlah gersang dan jarang sekali pohon-pohon
yang tumbuh dan tidak adanya sungai yang mengalir, maka dari tiu Allah
menggambarkan surga itu dengan sebuah perkebunan yang rindang terdapat
buah-buahan yang enak ditambah sungai-sungai yang mengalir didalamnya. Hal ini
supaya teks al-Qur'an itu pas dengan bangsa itu, tetapi kalau di Indonesia itu
sudahlah sangat biasa dengan perkebunan dan sungai. Oleh karena itu beliau
berpendapat surga yang dijanjikan Allah tidaklah sperti yang digambarkan dalam
teks tetapi surga yang dijanjikan Allah lebih dari itu.
2).
Al-Hadits
Sumber
ke dua yang digunakan Mahmud Hijazi adalah didasarkan pada hadits sebagaimana
tugas seorang rasul adalah sebagai penjelas dari risalah yang dibawanya. Contoh
pada surat al-Baqarah ayat 8 yang bertema tentang orang-orang munafik dan
sifat-sifatnya, Mahmud Hijazi menafsirkannya dengan mengambil hadits-hadits
yang berbicara tentang sifat-sifat orang munafik.
Dalam
ayat tersebut dijelaskan bahwa di antara manusia ada yang beriman kepada Allah
dan hari akhir secara lisan saja, padahal hatinya dipenuhi dengan rasa kufur
dan aniaya, oleh karena itu Allah menolak segala pengakuan mereka sebab mereka
tidak beriman meskipun mereka mengaku beriman. Tidak diragukan lagi bahwa
mereka menampakan keimanan dan menyembunyikan kekufuran dalam bentuk tipu daya,
dan mereka termasuk orang-orang yang munafik.
3).
Riwayat Sahabat
Selain
al-Quran dan hadits yang dijadikan sumber penafsiran Mahmud Hijazi pun
menggunakan riwayat para sahabat untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Hal ini
disebabkan mereka (sahabat) adalah orang-orang yang hatinya terbebas dari
nifak, luas pengetahuannya, adil dalam sifat dan sikap serta pemahamannya
terhadap ajaran yang dibawa nabi sangat mendekati kebenaran karena mereka hidup
semasa dengan nabi. Hal ini senada dengan ucapan nabi bahwa orang-orang yang
pling baik pemahamannya terhadap al-Quran adalah orang-orang yang sezaman
dengan nabi.
4).
Ijtihad
Yang
terakhir cara yang ditempuh oleh Mahmud Hijazi untuk menafsirkan al-Quran
selain dengan ke tiga sumber di atas adalah dengan menggunakan ijtihad.
Tentunya dalam hal ini Mahmud Hijazi menggunakan akal yang sehat dengan
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan untuk menafsirkan al-Quran, tidak mengikuti
hawa nafsu menafsirkan al-Quran sesuai dengan kebutuhan dan kehendaknya.
b.
Metode Penafsiran
Metode
tafsir al-Quran secara definitif adalah seperangkat kaidah atau aturan yang
digunakan dalam menafsirkan al-Quran. Dalam disertasinya yang berjudul
“al-Wihdah al-Maudhuiyyah” Mahmud Hijazi menjelaskan langkah-langkah yang
dilakukan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran yaitu:
1). Mengelompokan ayat-ayat yang
memiliki tema yang sama.
2). Menyusun ayat-ayat tersebut
sesuai dengan sebab turunnya.
3). Membahas ayat tersebut pada
surahnya serta menjelaskan kaitannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
4). Membahas rangkaian tema yang
sama tersebut yang terdapat pada surat lain sehingga sampai pada tujuan
pembacanya.
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa tafsir al-Wadhih cenderung menggunakan
metode “maudhu’i” yaitu mengklasifikasikan ayat-ayat dalam satu surat dengan
memberikan tema sentral, mencantumkan sebab nuzul dan melakukan munasabah ayat.
c.
Corak Penafsiran
biasanya
corak penafsiran selelu dikaitkan dengan tsaqofah mufasirnya, namun tidak mesti
demikian karena banyak kitab-kitab tafsir yang coraknya tidak sesuai dengan
tsaqofah mufasirnya. Jika melihar tsaqofah mufasirnya diketahui bahwa Mahmud
Hijazi adalah seorang yang mahir dalam kaidah bahasa Arab, akan tetapi dalam
menyusun tafsir ini beliau lebih cenderung dengan corak adabul ijtima’i.
Contoh
penafsiran
Tafsir
Qur’an Surat Al-Ikhlash
Makkiyah,
terdiri dari 4 ayat, surat tauhid dan pensucian nama Allah Ta’ala. Ia merupakan
prinsip pertama dan pilar utama Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat ini
disejajarkan dengan sepertiga Al-Qur’an. Karena ada tiga prinsip umum: tauhid,
penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari kiamat.
Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk membacanya
dengan tadabbur dan pemahaman, sampai pahalanya disamakan dengan orang membaca
sepertiga Al-Qur’an.
قُلْ
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
1.
Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu.
3.
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,
4.
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Syarah:
Inilah
prinsip pertama dan tugas utama yang diemban Nabi saw. beliau pun
menyingsingkan lengan baju dan mulai mengajak manusia kepada tahuhid dan
beribadah kepada Allah yang Esa. Oleh karena itu di dalam surat ini Allah
memerintahkan beliau agar mengatakan, “Katakan, ‘Dialah Allah yang Esa.”
Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Berita ini benar karena didukung oleh
kejujuran dan bukti yang jelas. Dialah Allah yang Esa. Dzat Allah satu dan
tidak beragam. Sifat-Nya satu dan selain-Nya tidak memiliki sifat yang sama
dengan sifat-Nya. Satu perbuatan dan selain-Nya tidak memiliki perbuatan
seperti perbuatan-Nya.
Barangkali
pengertian kata ganti ‘dia’ pada awal ayat adalah penegasan di awal tentang
beratnya ungkapan berikutnya dan penjelasan tentang suatu bahaya yang membuatmu
harus mencari dan menoleh kepadanya. Sebab kata ganti tersebut memaksamu untuk
memperhatikan ungkapan berikutnya. Jika kemudian ada tafsir dan penjelasannya
jiwa pun merasa tenang. Barangkali Anda bertanya, tidakkah sebaiknya dikatakan,
“Allah yang Esa” sebagai pengganti dari kata, “Allah itu Esa.” Jawabannya,
bahwa ungkapan seperti ini adalah untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa dan
tiada berbilang Dzat-Nya.
Kalau
dikatakan, “Allah yang Maha Esa,”
tentu implikasinya mereka akan meyakini keesaan-Nya namun meragukan eksistensi
keesaan itu. Padahal maksudnya adalah meniadakan pembilangan sebagaimana yang
mereka yakini. Oleh karena itu Allah berfirman, “Dia-lah Allah, Dia itu Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu.” Artinya tidak sesuatu pun pada-Nya dan Dia
tidak butuh kepada sesuatu pun. Bahkan selain-Nya butuh kepada-Nya. Semua
makhluk perlu berlindung kepada-Nya di saat sulit dan krisis mendera. Maha
Agung Allah dan penuh berkah semua nikmat-Nya. “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.”
Ini
merupakan pensucian Allah dari memiliki anak laki-laki, anak perempuan, ayah,
atau ibu. Allah tidak memiliki anak adalah bantahan terhadap orang-orang
musyrik yang mengatakan bahwa malaikat itu anak-anak perempuan Allah, terhadap
orang-orang Nashrani dan Yahudi yang mengatakan ‘Uzair dan Isa anak Allah. Dia
juga bukan anak sebagaimana orang-orang Nashrani mengatakan Al-Masih itu anak
Allah lalu mereka menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya. Ketidak-mungkinan
Allah memiliki anak karena seorang anak biasanya bagian yang terpisah dari
ayahnya. Tentu ini menuntut adanya pembilangan dan munculnya sesuatu yang baru
serta serupa dengan makhluk. Allah tidak membutuhkan anak karena Dialah yang
menciptakan alam semesta, menciptakan langit dan bumi serta mewarisinya.
Sedangkan ketidak-mungkinan Allah sebagai anak, karena sebuah aksioma bahwa
anak membutuhkan ayah dan ibu, membutuhkan susu dan yang menyusuinya. Maha
Tinggi Allah dari semua itu setinggi-tingginya. “Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia.” Selama satu Dzat-Nya dan tidak beberapa, bukan ayah
seseorang dan bukan anaknya, maka Dia tidak menyerupai makhuk-Nya. Tidak ada
yang menyerupai-Nya atau sekutu-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
mempersekutukan.
Meskipun
singkat, surat ini membantah orang-orang musyrik Arab, Nashrani, dan Yahudi.
Menggagalkan pemahaman Manaisme (Al-Manawiyah) yang mempercayai tuhan cahaya
dan kegelapan, juga terhadap Nashrani yang berpaham trinitas, terhadap agama
Shabi’ah yang menyembah bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang
musyrik Arab yang mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau
bahwa Allah memiliki sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.
Surat
ini dinamakan Al-Ikhlas, karena ia memperkuat keesaan Allah, tiada sekutu
bagi-Nya, Dia sendiri yang dituju untuk memenuhi semua kebutuhan, yang tidak
melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak yang menyerupai dan tandingan-Nya.
Konsekuensi dari semua itu adalah ikhlas beribadah kepada Allah dan ikhlas
menghadap kepada-Nya saja.
Kesimpulan
Dari
paparan di atas, dapat diketahui bahwa al-Tafsir al-wadhih karya Dr. Muhammad
Mahmud Hijazi memiliki dua sumber utama yaitu sumber Ma’tsur dan Ra’yu dengan
menggunakan metode maudhu’i dan bercorak adabul ijtima’i.
Penjelasan
dan bahasa yang beliau pakai dalam menafsirkan juga tidak begitu sulit sehingga
dapat dengan mudah untuk dipahami, penjelasan yang rinci dan ringkas memudah
untuk pembaca mencerna apa yang terkandung dalam satu ayat. Dengan analisis
yang selalu mengedepankan akal apapun yang ditefsirkan beliau dapat diterima
terutama bagi mereka yang sering menggunakan akal dalam memahami teks
al-Qur’an.
Dilihat
dari cara penafsiran beliau, kemungkinan besar beliau termasuk pada ulama
tafsir yang berada pada zaman modern, terbukti dengan cara penafsiran beliau
yang selalu menggunakan akal walaupun terkadang dijelaskan dengan nas yang ada
dalam al-Qur’an. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya manusia modern lebih banyak
menggunakan akal dalam menerima perihal yang hendak mereka ketahui, maka dengan
adanya tafsir ini, diharapakan dapat membantu mereka untuk memahami agama
mereka secara kaffah.
Kemudian
dengan menafsirkan kosa kata yang sulit sangat membantu dan dapat mengurangi
keasalah pahaman dalam memahami agama, sehingga mengurangi kerancuan dan
kekerasan yang sering di atas namakan agama hanya karena keliru dalam
menginterpretasi suatu teks ayat dalam al-Qur’an. Mungkin ini juga suatu
pembaharuan dalam keilmuan tafsir sehingga menjadi penting rasanya untuk lebih
dalam mengkaji metode-metode baru dengan metode yang sudah ada sebelumnya,
sehingga dapat menjawab tantangan zaman yang terkadang mencoba menjerumuskan
agama pada lembah yang paling asing dalam keberadaannya di suatu masyarakat
bahkan negara.
Dapat
dikatakan pula Dr. Muhammad Mahmud Hijazi adalah orang yang jenius, karena
beliau dapat mengkolaborasikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan,
sehingga al-qur’an yang dijadikan pijakan utama dalam islam tidak menjadi teks
mati dan stagnan tanpa ada pengimplementasian yang pas dan memuaskan bagi umat
islam dalam suatu negara misalnya. Namun juga di sayangkan kurangnya perhatian
umat islam dalam mengkaji para tokoh yang menjadikan islam bisa lebih maju dan
bermartabat lagi dalam keberadaannya di berbagai negara di dunia.
Artikel ini dipetik dari http://tafsirhaditsuinsgdbdgangkatan2009.blogspot.com/2012/12/tafsir-al-wadhih.html. Semoga bermanfaat.
Artikel ini dipetik dari http://tafsirhaditsuinsgdbdgangkatan2009.blogspot.com/2012/12/tafsir-al-wadhih.html. Semoga bermanfaat.
10 Catalogs This Invigorate Young people to post (+ producing newspaper printables) http://9ijs1i2r6z.dip.jp http://ctlbhu6ttk.dip.jp https://imgur.com/a/1nAv6Rz https://imgur.com/a/roT0aFZ http://cc3injjz6k.dip.jp https://imgur.com/a/bydtUt3 https://imgur.com/a/wThj1on
ReplyDelete