
- Allamah Ahmad An-Nayyir,
dalam kitab al-Intishaf.
- .al-Hafidz Ibnu Hajar
al-Asqalani, dalam As-Syafi fi Takhrij Ahadisil Kasysyaf.
- Syeikh Muhammad Ulyan
al-Marzuki, dalam Hasyiyah Tafsir al-Kasysyaf dan Masyahidah Inshaf ‘Ala
Syawahidil Kasysyaf.
Pengarangnya
memberikan dua sifat dan dia sebutkan kedua sifat itu tanpa ragu. Sifat pertama
adalah tafsir yang beraliran mazhab mu’tazilah. Bahkan, pengarangnya sendiri
sampai mengatakan: “ Apabila kamu ingin minta izin dengan pengarang al-Kasysyaf
ini maka sebutlah namanya dengan Abul Qosim al-Mu’tazili”.
Dari
kalimat pertama dalam tafsir ini sudah menunjukkan adanya indikasi tentang Mu’tazilah.
Dari pertama sampai akhir. Imam Zamakhsyari selalu berpegang dengan mazhab Mu’tazilah
dalam penfsirannya. Padahal al-Quran bukanlah sebuah kitab mazhab. Apabila al-Quran
ditafsirkan dengan landasan sebuah aliran maka nilai kemurniannya sudah hilang.
Maka dari itulah al-Kasysyaf mendapat banyak kritikan dari para ulama
Ahlusunnah.
Sifat
kedua yang dimiliki tafsir ini adalah keutamaan dalam nilai bahasa ‘Arab, baik
dari segi I’zaj al-Quran, Balaghah, dan Fashahah, sebagai bukti jelasnya Al-Quran
diturunkan dari sisi Allah SWT. Bukan buatan manusia dan mereka tidak akan
mampu meniru seumpamanya sekalipun mereka saling tolong-menolong dalam
melakukannya. Dalam hal ini, Imam Zamakhsyari sangat mempersiapkannya dengan
matang sebelum beliau mengarangnya.
Ada
beberapa kelemahan yang terdapat dalam kitab al-Kasyaf, antara lain:
Dalam setiap tafsir ayat al-Quran tidak ada pengaruh batin yang didapatkan oleh
pengarang. Dalil-dalil ayat tersebut tidak bisa memalingkannya kepada
kebenaran, bahkan Zamakhsyari memalingkan makna tidak sesuai dengan zahirnya.
Ini merupakan mengada-ada kalam Allah SWT. Lebih baik seandainya sedikit saja,
tetapi pada kenyataannya dia membahasnya secara panjang lebar agar tidak dikatakan
lemah dan kurang. Dalam hal ini, dapat kita lihat bahwa penafsiran dalam kitab
itu bercampur dengan pengaruh aliran mu’tazilah. Ini adalah pengaruh cacat yang
sangat besar.
Kritikan lain terdapat pada pencelaan Imam Zamakhsyari terhadap para wali Allah
SWT. Hal ini karena ia lupa tehadap jeleknya perbuatan ini, dan karena tidak
mengakui adanya hamba Allah SWT seperti itu. Alangkah indah ungkapan Imam
al-Razi dalam kritikannya kepada al-Zamakhsyari tehadap yang demikian. al-Razi
berkata dalam tafsir ayat “Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya
(QS al-Maidah [5]:54) “Dalam hal ini, pengarang al-Kasysyaf telah menceburkan
dirinya dalam kesalahan dan bahaya karena telah mencela kekasih Allah SWT dan
telah menulis sesuatu yang tidak layak dan sesuatu kejelekan terhadap mereka
yang dicintai Allah SWT. dia sangat berani melakukan hal ini, padahal tulisan
ini dia lakukan ketika menafsirkan ayat-ayat Allah SWT yang Majid”.
Kritikan lainnya adalah penyebutan Ahlusunnah dangan kata-kata kotor. Terkadang disebut dengan golongan mujabbaroh (pemaksa), bahkan terkadang dikatakan dengan kaum kafir dan kaum yang menyimpang. Padahal ucapan seperti ini hanya pantas keluar dari golongan mereka yang bodoh, bukan dari ulama yang pintar.
Manhaj fi kitab al- Kasysyaf

Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan Mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan kedudukan Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun
demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai
kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di
kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan
al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastera (balaghah)-nya dibandingkan dengan
sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili,
kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an,
aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafaz-lafaznya, di mana dalam
hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk
yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahawa majoriti
pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir
al-Zamakhsyari. al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain
merujuk kepada tafsirnya.
al-Zamakhsyari
melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai
ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari
sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan
menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat
Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya
sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. al-Zamakhsyari sebenarnya tidak
melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena
penafsirannya melakukan sebahagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini
dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika al-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid al-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu memerlukan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya;
"Sesungguhnya aku
telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa
Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk
menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat
yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka
merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari
hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat
menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang
diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai
aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang
berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian
hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya
menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban,
serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".
Penyusunan
kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada
kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik
dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Dari
kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir al-Kasysyaf
tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, iaitu:
1. al-Zamakhsyari
telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;
2. Penampilan
dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,
6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari
ke lapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang
Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di
atas menggambarkan bahwa huraian-huraian yang dilakukan oleh al-Zamakhsyari
dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan
mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.
Begitu
juga halnya dengan al-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia
juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir al-Kasysyaf, antara
lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari
uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas
penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan
penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa
ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia
menempuh metode dialog.
Faham
kemu’tazilahan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya membuktikan kecerdasan,
kecemerlangan dan kemahirannya. Ia mampu mengungkapkan isyarat-isyarat yang
jauh agar terkandung di dalam makna ayat guna membela kaum Mu’tazilah dan
menyanggah lawan-lawannya. Tetapi dari aspek kebahasaan ia berjasa telah menyingkap
keindahan al-qur’an dan daya tarik balaghahnya. Hal ini karena dia memiliki
pengetahuan yang sangat luas tentang ilmu balaghah, bayan, nahwu dan sharaf.
Dia
pernah menyatakan bahwa orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir tidak akan
dapat menyelami hakikatnya sendiri kecuali jika dia telah menguasai dua ilmu
khusus bagi al-Qur’an iaitu, ilmu ma’ani dan ilmu bayan. Zamakhsyari telah
cukup lama menyelami keduanya, bersusah payah dalam menggalinya, menderita
karenannya serta di dorong oleh cita-cita luhur untuk memakahi
kelembutan-kelembutan hujjah Allah dan oleh hasrat ingin mengetahui mukjizat
Rasulullah.
Ibnu
Khaldun memberikan analisa dan penilaian terhadap al-Khasysyaf karya
Zamakhsyari tersebut di saat membicarakan tentang rujukan tafsir mengenai
pengetahuan tentang bahasa, I’rab, dan balaghah. Dia mengatakan:
“
Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab al-Khasysyaf
karya Zamakhsyari, seorang penduduk khawarizm di Irak. Hanya saja pengarangnya
termasuk pengikut fanatik Mu’tazilah. Karena itulah ia senantiasa mendatangkan
argementasi-argumentasi untuk membela mazhabnya yang rusak setiap ia
menerangkan ayat-ayat al-Quran dari segi balaghah. Cara demikian bagi para penyelidik
dari kaum ahli sunnah dipandang sebagai penyimpangan dan, bagi jumhur,
merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Quran. Namun demikian
mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal berkaitan dengan bahasa
dan balaghah. Tetapi jika orang membacanya tetap berpijak pada mazhab sunni dan
menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya.
Oleh karena itu, kitab tersebut perlu di baca mengingat keindahan dan keunikan
seni bahasanya ”.
Link
artikel berkaitan:
1.
al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari
2. Pengaruh Teologi Mu’tazilah Dalam Tafsir al-Kasysyaf.
3. Muktazilah Dan Mauqif Penafsiran Mereka Terhadap Al-Quran ...
4. Metodologi al-Zamakhsyari dalam kitab al-Kasysyaf
Download tafsir ini dalam format PDF : التحميل
No comments:
Post a Comment