Kitab Tanwir al-Qulub fi Mu'amalah 'Allam al-Ghuyub (تنوير
القلوب في معاملة علام الغيوب) adalah sebuah kitab yang masyhur di dunia Islam. Kitab ini adalah salah satu
‘kitab wajib’ yang dipelajari pada hampir seluruh pesantren di Indonesia.
Penulisnya adalah Syaikh Muhammad Amin al Kurdi yang kadang-kala juga
disebut Syaikh Sulaiman al-Kurdi. Beliau dilahirkan pada paruh kedua
abad ke-13 di kota Irbil dekat kota Moshul di Irak,
sebuah kota yang cukup populer terutama setelah serangan dan pendudukan Amerika
Serikat atas negeri itu.
Ayah beliau adalah seorang Ulama Besar, pemuka dalam Thariqat
al Qadiriyah, sebuah thariqat yang telah dirintis oleh Syaikh Abdul
Qadir al Jaelani. Guru beliau yang terkenal adalah Syaikh al Quthub,
Mulana Umar, seorang wali Allah yang tinggal di Irbil, Irak. Guru
beliau inilah yang banyak menggembleng beliau dengan ilmu-ilmu syari’at dan
thariqat, sehingga membuat beliau memiliki dasar yang kuat dalam ilmu lahir dan
batin.
Syaikh Amin al Kurdi adalah seorang pelajar yang gigih, di mana
masa mudanya dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu agama dari
guru-guru besar yang masyhur pada zaman beliau. Setelah menamatkan pelajaran di
Irbil beliau memulai perjalanan spiritual mengunjungi orang-orang shalih dan
makam orang-orang shalih. Kemudian dengan bekal tawakkal kepada Allah dan doa
dari para guru, beliau memulai perjalanan ke Hijaz dengan menumpang
kapal laut dari kota Basrah, Irak. Beliau tinggal di Mekkah belajar dari
guru-guru terkemuka di Mekkah dan tenggelam dalam berbagai amal sholih. Pada
tahun 1300 H. beliau berangkat ke Madinah dan menetap di sana, belajar dan
menempa rohani di Baqi’ dan Jabal Uhud.
Pada akhir usia beliau, beliau pindah ke Mesir karena didorong
rasa rindu dan cinta kepada para Ahlul Bait Rasulullah SAW., yang saat itu
sangat banyak menetap di Mesir, ketimbang di Mekkah dan Madinah sendiri. Saat
menetap di Mesir inilah beliau meneguk habis pelajaran-pelajaran berharga dari
kitab fiqih as Syafi’i dan kitab-kitab hadis yang utama. Tercatat guru beliau
dalam fiqih adalah: Syaikh Asymuni dan Syaikh Musthafa
‘Izz as Syafi’i, dua orang ulama Universitas Al- Azhar paling
terkemuka di zaman itu di Mesir. Dalam ilmu hadis beliau belajar dari Syaikh
Samin al Bisyri, serta para Masyaikh di al Azhar dengan menamatkan kitab
Shohih Bukhari dan Muslim, Musnad as Syafii, al Muatha’ Imam Maliki, serta
Tafsir Baidhawi.
Beliau diangkat sebagai Syaikh Besar pada thariqat al Khalidiyah
dan Naqsyabandiyah di Mesir. Kemasyhuran beliau menyinari seluruh Mesir sebagai
Ulama ahli Fiqih madzhab Syafi’i dan Syaikh Besar Thariqat Naqsyabandi. Dan,
beliau wafat pada tahun 1332 H. dan dimakamkan di sebelah makam dua Imam besar
dunia, Imam Jalaluddin al Mahali dan Imam Tajuddin as Subki.
Isi Kitab dan Pandangan Penulis
Kitab Tanwirul Qulub dibagi atas tiga bagian besar. Pertama,
bagian Aqidah Biddiniyyah terdiri atas 3 bab. Kedua, bagian Fiqih
terdiri atas 11 bab yang dibagi menjadi 94 pasal. Dan ketiga, bagian Tasawwuf
dibagi atas 22 pasal.
Pada pembahasan akidah dengan terang-terangan beliau mengatakan
bahwa pembahasan isi kitab hanya berdasarkan kepada ajaran akidah Ahlussunah
wal Jama’ah al Asy’ariyah dan Maturidiyah saja dengan menyertakan
dalil-dalil aqli dan naqli serta menolak suybhat
yang dimunculkan oleh ajaran sesat di luar Ahlussunah (halaman 66).
Beliau mengatakan bahwa Allah memiliki 20 sifat yang wajib
atas Allah antara lain: Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu
Lilhawadits, Qiyamuhu Binafsih, Wahdaniyah, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’,
Bashr, Kalam, Qadirun, Muridun Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirun, Mutakalimun.
Dan 20 sifat yang Mustahil atas Allah antara
lain: Adam, Huduts, Fana’, Mumatsalutuhu Lilhawadits, Qiyamuhu Bighayrih,
Ta’addud, Ajz, Karahah, Jahil, Maut, Saman, Umy, Bukm, Kaunuhu Ajizan, Kaunuhu
Karihan, Kaunuhu Jahilan, Kaunuhu Mayyitan, Kaunuhu Asam, Kaunuhu A’ma, Kaunuhu
Abkam.
Adapun sifat Jaiz yaitu
melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya. Dalil atas sifat
ini adalah surat Al Qashash ayat: 68 “dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia
kehendaki dan memilihnya.”
Dalam bab Fiqih beliau menjelaskan dalam kitabnya secara lengkap
pada hampir seluruh permasalah fiqih Imam Syafii. Meskipun pembahasannya tidak
dilakukan secara panjang lebar namun mencukupi untuk bekal para pelajar
pesantren memahami ilmu fiqih dalam mazhab Syafii, karena di samping cukup
lengkap dalam berbagai permasalahan yang diperlukan, juga disertai dengan
dalil-dalil pendukung dari ayat-ayat al Qur’an dan hadis-hadis nabi.
Dibandingkan dengan kitab-kitab sejenisnya, misalnya kitab Kifayatul Akhyar
karangan Imam Taqiyuddin, kitab Tanwirul Qulub ini memiliki
keunggulan tersendiri. Di mana dalam kitab ini terdapat pembahasan bab
Fara’idh (warisan) dengan cukup lumayan luas, yang tidak terdapat
dalam kitab Kifayatul Akhyar itu.
Sedangkan dalam pembahasan Tasawwuf, beliau memulainya
dengan pembahasan lima pokok yang menjadi sifat tasawwuf, yaitu: 1. Taqwa
kepada Allah, wara’ dan istiqamah, 2. Mengikuti sunnah nabi perkataan dan
perbuatannya, 3. Memalingkan diri dari makhluk, bersabar dan bertawakal kepada
Allah, 4. Ridha, dan 5. Taubat dan Syukur kepada Allah.
Sedemikian kokohnya pemahaman beliau atas tiga prinsip dasar
akidah, fiqih dan tashawwuf itu, sehingga beliau mengatakan dengan tegas bahwa
telah menjadi keharusan atas umat yang hidup di akhir zaman ini untuk bertaqlid
kepada Imam-Imam Mujtahid dari faham Ahlussunnah dan Imam madzhab
yang Empat saja. Dengan mengikuti mereka berarti akan selamat dalam
kehidupan beragama. Sebaliknya, beliau menegaskan bahwa barangsiapa yang tidak
ikut salah seorang dari para Imam ini, (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali), dan mengucapkan bahwa dia terlepas dari Madzhab yang Empat serta
hanya menggali langsung dari kitab al Qur’an dan Sunnah saja,
maka orang tersebut tidak akan selamat, dan termasuk orang yang sesat lagi
menyesatkan!
Menurut beliau, hal itu terjadi adalah karena keterbatasan waktu
orang sekarang dalam memahamkan agama, serta banyaknya pengaruh rusak akibat
lemahnya moralitas, kedurhakaan yang meluas, dan tingginya kecintaan pada
hal-hal duniawiyah. Di samping tidak tersusun rapinya buku-buku pembahasan
masalah agama di luar Madzhab yang Empat ini. Apalagi dilihat tentang
kedalaman ilmu, jelas orang sekarang tertinggal jauh jika dibandingkan dengan
ilmu para Imam Madzhab yang Empat. (Lihat Tanwirul Qulub, halaman 65-66,
cetakan Darul Kutubi al Ilmiyah, Beirut).
Sanjungan dan Kritik
Kitab Tanwir al Qulub ini mendapat sanjungan yang luas
dari kalangan ilmuwan di negeri Indonesia. Para ulama pesantren menjadikan
kitab ini sebagai ‘kitab wajib’ untuk seluruh pelajar, terutama pesantren di
tanah Jawa dan Sumatera. Di negeri Malaysia, kitab ini juga dipakai pada
sekolah-sekolah Agama di sana dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu
oleh Lembaga Bahasa milik Pemerintah Malaysia. Selain dipakai di pesantren,
ternyata kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka
Hidayah, Bandung dengan judul Manusia Bumi Manusia Langit,
Rahasia Menjadi Muslim Sempurna, terbit pada tahun 2010.
Demikian terkenalnya kitab ini di Indonesia, sehingga telah
beredar tidak kurang dalam enam edisi cetakan dengan penerbit yang berbeda,
meskipun kesemuanya masih dalam bahasa Arab, antara lain: Terbitan Maktabah
Keluarga Semarang, Terbitan Surabaya, Terbitan Darul Kutubi al Arabiyah,
Indonesia, Terbitan Darul Fikri, Mesir, Terbitan Maktabul Taufiqiyyah, dan
terbitan Darul Kutubi al Ilmiyah, Beirut, Libanon, yang dilengkapi dengan
catatan pinggir oleh Muhammad Riyadl. Sayangnya, edisi terjemahan
dalam bahasa Indonesia hanya ada satu saja, dan itupun tidak dilengkapi dengan
teks ayat-ayat al Qur’an dan hadis-hadis yang semestinya ada di dalamnya.
Dengan keterbatasan ini, orang awam yang tidak mengerti bahasa Arab sangat
sulit untuk menikmati apalagi memahamkan, dan meyakini kitab penting ini.
Salah satu penyebab kitab ini masyhur dan tersebar di Indonesia
adalah isi kandungannya yang bersesuaian dengan faham yang dianut oleh hampir
seratus persen rakyat Indonesia. Dalam akidah misalnya, sudah dimaklumi bahwa faham
masyarakat luas adalah faham Ahlussunnah Wal Jama’ah al Asy’ari,
sedangkan dalam fikih juga dimaklumi bahwa hampir seratus persen bangsa
Indonesia bermadzhab Imam Syafi’i. Sedangkan dalam bidang tashawwuf,
mayoritas penganut tashawwuf di negeri ini adalah penganut thariqat Naqsyabandiyah
dan Qadiriyah. Dan kalaupun mungkin ada orang tidak menganutnya, paling
tidak masyarakat luas sudah menerima dan tidak menolak keberadaan aliran
thariqat yang sudah dianggap mu’tabarah, dalam hal ini tentu termasuk
ajaran tariqat an Naqsyabandiyah ini.
Kritik dan Kecaman
Secara umum kritik bahkan kecaman sudah sering dialamatkan
kepada para penganut aqidah al Asy’ariyah dan khususnya para
penganut ajaran thariqat. Sebut misalnya kitab Manhaj al Imam
asy-Syafii fi Itsbati al Aqidah oleh Doktor Muhammad bin Abdul Wahab
al Aqil, terbitan Maktabah Abwa asy Salaf, Riyadl, tahun 1998 M. Dalam
edisi bahasa Indonesia, kitab ini diberi judul Manhaj Aqidah Imam
asy-Syafi’i, penterjemah Nabhani Idris dan Saefuddin Zuhri,
terbitan Pustaka Imam Syafi’i, tahun 2002.
Keberadaan kitab itu cukup menghebohkan para ulama Indonesia,
bahkan juga masyarakat awam karena isinya dianggap sebagai pemelintiran
terhadap Akidah Imam asy-Syafi’i yang dikenal murni pengikut generasi awal Salaf
as Shalih, menjadi Akidah Salaf ajaran Ibnu Taimiyyah.
Kini, beberapa ulama di Indonesia mulai membahas keberadaan kitab ini, bahkan
beberapa di antaranya telah mulai menulis kitab sanggahan, antara lain,
Syahamah Jakarta dan LBM Nadhatul Ulama Jember.
Kritik terhadap ajaran thariqat di Indonesia dalam sepuluh tahun
terakhir ini pun sudah sangat gencar dilakukan, terutama oleh para pengikut Mazhab
Salafi Indonesia antara lain: Hartono Ahmad Jaiz dalam
bukunya “Belitan Iblis”, dan buku “Kesesatan Tahlilan dan
Yasinan”. Juga Rapot Merah Aa Gym, MQ Dalam Penjara Tasawwuf,
oleh Abdurrahman Al Mukaffi, (buku ini sudah penulis jawab dalam buku
yang berjudul Salah Faham Penyakit Umat Islam Masa Kini). Dari luar negeri
adalagi kitab terjemahan yang berjudul “Darah Hitam Tasawwuf” oleh Dr.
Ilahi Dhohir.
Namun secara spesifik, kritik terhadap kitab Tanwir al Qulub
baru sekali dilontarkan oleh seorang ulama Timur Tengah bernama Muhammad
Riyadl. Kitab tersebut berjudul Tanwir al Qulub fi Muamalati
Allam al Ghuyub, terbitan Darul Kutub al Ilmiyah, Beirut
Lebanon, cetakan pertama tahun 1955 M. Di dalam kitabnya yang tebalnya mencapai
621 halaman ini, Muhammad Riyadl membantah, bahkan menyatakan sesat beberapa
masalah yang telah dibahas oleh Syaikh Muhammad Amin al Kurdi.
Kritikan terbanyak dilontarkan terutama dalam pembahasan Aqidah
(ushuluddin) dan Thariqat Naqsyabandi.
Salah satu kritikan Muhammad Riyadl yang agak keras adalah
masalah sifat Wujud Allah, di mana beliau mengatakan wajib meyakini
wujud Allah secara dhahiriyah apa yang tertulis pada
ayat al Qur’an dengan menolak takwil. Sehingga jika ditanyakan di mana
Allah, maka wajib menjawab Allah ada di seluruh tempat, tetapi keberadaan
Allah di seluruh tempat itu adalah dengan Ilmu-Nya bukan dengan Dzat-Nya.
Kemudian beliau mengatakan lagi, bahwa wajib meyakini Allah itu dengan Dzat-Nya
bertempat di langit-Nya, di atas Arasy-Nya, di atas segala yang paling tinggi
sesuai dengan Keperkasaan dan Keagungan-Nya! Sebagai penyokong pendapatnya ini
dikemukakannya dalil “Dialah Tuhan yang di langit” (QS. Ah Zukhruf:
84) dan firman Allah: “Tuhan yang Ar Rahman duduk di atas Arasy” (QS. Thaha
ayat: 5). (Lihat halaman 30).
Hal tersebut bertolak belakang dengan pemahaman Syaikh Amin al
Kurdi yang meyakini Allah itu ada tanpa memerlukan tempat, tanpa memerlukan
waktu, dan tidak memiliki pencipta, senada dengan pemahaman Ahlussunnah wal
Jama’ah yang meyakini Allah maujud bi la makan, wa la zaman,
(Allah ada tanpa tempat dan Allah ada tanpa waktu).
Imam Hanafi, seorang Imam dari generasi Salaf as Shalih mengatakan
dalam kitabnya al Washiyyah, :“Penduduk surga melihat Allah dengan pasti
tanpa mensifati-Nya dengan sifat benda, tidak menyerupai makhluknya dan tanpa
berada di satu arah pun ” (tidak di atas, tidak di bawah,
tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di bumi dan tidak di langit-pen)”.
Sementara, Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Allah itu ada sebelum adanya
tempat, dan sekarang,(setelah menciptakan tempat) Allah tetap seperti
semula,yakni ada tanpa tempat” (lihat kitab
al Farq baina al Firaq halaman 333).
Penulis mencoba meneliti ayat al Qur’an yang dikemukakan oleh Muhammad
Riyadl, ternyata ayat itu dipotong sedemikian rupa, sehingga tidak
sempurna lagi wujud dan maksudnya. Seharusnya ayat tersebut berbunyi, “Dan
Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang
disembah) di bumi, dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha
mengetahui.( al Qur’an surat al Zukhruf 84). Sebagai catatan,
kata ‘yang disembah di dalam kurung’ adalah makna takwil yang dilakukan
mufassir ahli sunnah. Sayangnya, secara sengaja beliau memotong ayat
itu sampai kepada bunyi “Tuhan di langit saja”, lengkapnya “Dia-lah
Tuhan (yang disembah) di langit” dengan menghilangkan sambungan
berikutnya dari ayat ini yang lengkapnya ada sambungan,“Dan Tuhan (yang
disembah) di bumi.” Dalam kaidah ilmiah, perbuatan menggunting dan
memotong dalil agar sesuai selera, dan dapat dipergunakan untuk membela faham
sendiri, adalah perbuatan tercela yang pada ujungnya akan merugikan diri
sendiri. Bagaimana pun para pembaca yang kritis akan mengetahui juga perbuatan
itu setelah meneliti dalil-dalil yang dikemukakan dengan merujuk kepada sumber
dalilnya yang asli.
Wallahu a’lam bishowab
Artikel di atas diambil dari pautan